Blogging

Kelas Perdana_4923.
Kelas Menulis MAM Perdana digelar 17 Juni Lalu

Mendapat tugas membuat tulisan tentang ihwal menyenangi kegiatan menulis; perihal mengapa (mau) ngeblog, dari Kelas Menulis MAM, membuat saya berpikir kembali. Mengapa saya memilih menulis ataupun ngeblog? Apa alasan saya sesungguhnya? Seriuskah saya menekuni kegiatan ini?

Pertanyaan yang tentunya harus saya jawab sendiri.

Jadi begini ceritanya.

Dulu. Dulu sekali saya pernah mengalami krisis kepercayaan kepada siapapun orang. Entah kenapa saya tidak mempercayai seorangpun untuk menceritakan apa di kepala saya. Jika dulu di bangku sekolah, saat mulai mengenal cinta monyet, dan orang yang pertama tahu adalah teman sebangku, kawan sepermainan, ibu, kakak perempuan atau adik, maka saya tidak melakukannya  ke satupun orang itu. Hingga bertahun kemudian.

“Ahhh, tertutup sekaliki kita. Nda ada mau kita cerita,” begitu keluhan kawan sebangku saya, Wahdah saat di  SMA dulu. Mungkin dia gemas.

Wahdah, kawanku itu merupakan langganan curhat hampir separuh isi kelas, tetangga kelas, bahkan kakak kelas sekalipun turut menjadi klien curhatnya. Tapi saya, kawan sebangkunya dua tahun berturut-berturut urung bercerita tentang isi perasaan atau apapun hal pribadi kepadanya. Entah itu tentang saya yang diam-diam benci, bahkan pernah mengusili seorang guru, dan dipermalukan di ruang guru. Juga bagaimana irinya saya pada adik yang bisa tetap bahagia adem anyem di rumah, meski tidak menjadi juara kelas, sementara saya harus mendapat ocehan mama ketika mendapati nilai saya anjlok sedikit saja. Termasuk saya tidak pernah bercerita tentang kakak kalas mana yang mencoba menelepon menanyakan kabar hampir tiap hari.

Wahdah sungguh keliru kalau menganggap saya tidak pernah bercerita kepada siapapun. Hanya saja, saya tidak bercerita kepada satu orangpun.

Jadi bagaimana?

Saya bercerita semuanya melalui medium tulisan. Saya tidak cukup tangguh tanpa satu orangpun untuk menumpahkan apa di kepala. Karenanya menulis adalah jalan keluar tunggal saat itu. Ya, cukup lazim sebenarnya, memiliki buku, jurnal, diary atau apapun namanya untuk kumpulan tulisan berisi cerita pribadi.

Iya, kepercayaan satu-satunya hanya ada pada tulisan saya sendiri. Lebih dari percaya, saya mengandalkan kegiatan ini, sebagai ajang relaksasi dan problem solver. Jauh sebelum saya tahu bahwa menulis bisa menjadi sarana healing, melepaskan stress, memecahkan masalah dan menyusun solusi.

“Coba ya Tami menulis setiap hari. Apa yang dipikirkan dan rasakan coba ditulis. Sesi berikutnya bawa tulisanmu. Nanti kita ketemu solusinya di sana,” kurang lebih seperti itu yang disarankan Ibu Dyah, psikolog yang pernah menangani saya bebrapa bulan namanya. Akan saya ceritakan nanti, mengapa saya akhirnya menyerah, justru memilih seorang profesional untuk bisa bercerita hal pribadi. Ya, meski itu sangat sulit. Lagi-lagi saya harus menggunakan tulisan sebagai pembantu penghubung bercerita.

Di sanalah saya harus berterimakasih kepada kegiatan menulis. Di masa itu baru saya menyadari, menulis bisa menjadi sarana penyembuhan, membuatmu jadi manusia lebih baik dan tentu saja kamu menjadi semakin cerdas dibuatnya.

Selain menulis untuk memecahkan masalah sendiri. Saya juga (pernah) memilih aktifitas menulis sebagai salah satu kegiatan utama, tentunya selain belajar di ruang-ruang kuliah.

Itu adalah tahun-tahun paling menyenangkan.

Hampir seluruh waktu saya di masa itu selalu diisi dengan menulis. Mulai dari karya tulis ilmiah dalam komunitas research kampus, tergabung dalam klub buletin himpunan –masa-masa ketika tulisan kamu diperdebatkan dalam kelas-kelas kajian– pun ketika menjadi kuli tinta di salah satu media lokal, juga sesekali menulis di rubrik remaja salah satu media nasional.

Saya merasa sangat hidup saat itu.

Meski hampir setiap hari dikejar dengan deadline tulisan, tapi itu malah sangat membahagiakan. Tapi, akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan semua yang menyenangkan itu.

Bukan, saya sama sekali tidak meninggalkan kegiatan menulis. Layaknya kegiatan memasak di dapur. Saat itu, saya hanya meninggalkan dapur sebelumnya, untuk menemukan dapur yang lain. Bukan berhenti memasak sama sekali.

Saya masih sangat mencintai menulis. Stressing-nya menyusun plot, membuka tulisan, membuat klimaks maupun memberi ending  yang mengesankan. Tidak ada seorangpun yang bisa menafikan, apa lagi saya, bagaimana bahagianya ketika sebuah tulisan hasil karya sendiri berhasil terpublikasi, dinikmati khalayak. Ya, meskipun tidak jarang diprotes, dicemoh. Toh cara orang dalam menikmati sesuatu memang berbeda.

I’m pretty sure, every chef wishes that their cuisine will bring happiness while you tasted.

Seperti saya, yang ingin hasil tulisannya dibaca, dan dinikmati. Membahagiakan tentu saja, when people get something after read it.

Saya harus tetap menulis dengan cara yang sendiri, meski memutuskan resign dari kegiatan menulis di tempat sebelumnya. Blog saya, http://www.tamivillea.blogspot.com yang awalnya hanya berisi tulisan curhatan, kemudian saya rapikan –menghapus semua postingan—dan kemudian saya ganti menjadi www.taminisme.blogspot.com, dan berganti lagi ke laman ini.

Saya harus menyusun kegiatan menulis saya yang baru

Tantangan jauh lebih berat. Menyusun ide tulisan, tanpa bantuan tim. Memasukkan sisi personal ke dalam tulisan, jauh bedanya dengan menulis sebagai jurnalis macam yang pernah saya tekuni sebelumnya, tidak memperkenankan satupun opini pribadi di dalamnya.

Menentukan garis mati untuk diri sendiri. Bukan lagi dikejar deadline dari redaktur. Menjadi editor untuk diri pribadi. Saya pontang panting untuk semua urusan itu. Akhirnya saya hanya mempu meng-post lima kali dalam medio dua tahun setelah memutuskan berhenti dari aktifitas menulis hampir setiap hari di media mainstream. Sungguh tidak semudah yang saya perkirakan di awal.

Saya yang terlalu pongah dulu akhirnya paham menulis memang butuh effort besar. Hingga kemudian saya tertolong ketika dipertemukan dengan kelas Kepo. Perihal kelas ini dapat temukan di sini.

Di sana bersama murid kelas lainnya, kami diemong bagaimana menjadi penulis yang bukan hanya baik, tapi juga konsisten. Mempublikasi tulisan sendiri di blog, menentukan deadline, memberi pressure ke diri sendiri, hingga membuat kompetisi sesama anggota kelas demi saling menumbuhkan minat menulis. Untuk memacu diri.

Saya harus berterima kasih kepada teman sekelas, para guru serta siapapun dengan kontirbusi luar biasanya telah berupaya agar kelas ini lahir dan tetap bertahan hinga sekarang, di angkatan keduanya.

Saya yang selama ini sudah sangat senang saat menikmati blogwalking dari satu blog ke blog lainnya, akhirnya kembali berupaya untuk mulai (berupaya dan belajar) lagi konsisten ngeblog. Ini akibat dari rasa putus asa yang panjang setelah gagal konsisten mengisi blog pribadi. Iya, konsisten ngeblog hampir menjadi permasalahan semua penulis ataupun blogger.

Saya pikir, tidak ada seorang pun blogger yang tidak berperang untuk mengatasi masalah satu ini. Tentu saja selain se-abrek masalah lain, seperti writing blocked, mengembangkan tulisan, dan sebagainya. Tapi terlepas dari itu semua, memutuskan untuk konsisten adalah masalah paling vital. Mungkin setidaknya untuk blogger pemula seperti saya.

Konsisten ini juga ditekankan oleh Kak Mughniar, salah satu mentor di kelas menulis berikutnya yang saya ikuti, Kelas Menulis MAM. Kelas menulis ini perdana dimulai 17 Juni lalu dengan Kak Mughniar sebagai pemateri.

Kak Mughniar sendiri telah lama malang melingtang dalam dunia kepenulisan jalur blogging. Kita bisa menemukan tulisan-tulisannya di www.mugniar.com. Di kelas perdana MAM yang berlokasi di Kedai Pojok Adhyaksa Makassar, berkali-kali beliau memesan kami agar tidak terpaku pada mood ataupun alasan keterbatasan ide.

“Kita bisa menulis dengan ide apapun,” pesannya di tengah sesi sore itu sebelum menampilkan slide satu persatu tentang para blogger perempuan.

Sore itu, banyak inspirasi yang dibagi KakMughniar dari para blogger perempuan Indonesia. Mereka adalah para blogger travelling, food blogger, ataupun blogger yang hanya bercerita tentang keseharian mereka sebagai ibu rumah tangga. Mereka semua hampir sama dengan Kak Mughniar , meski disibukkan oleh berbagai aktiftas rumah tangga, dari mengurus suami, anak, bahkan ada yang bekerja mencari nafkah tapi tetap konsisten ngeblog.

Nama kelas menulis ini merupakan akronim dari Makkunrainna Anging Mammiri. Makkunrai adalah sebutan untuk kaum perempuan dalam bahasa Bugis-Makassar. Sementara Anging Mammiri merujuk nama komunitas blogger di Makasar. Kelas ini memang diinisiasi serta diperuntukkan bagi anggota perempuan dari komunitas Blogger Makassar Anging Mammiri.

Ini yang mestinya menjadi cambuk bagi diri saya. Sudah belajar di dua kelas menulis, tapi menulis tetap setengah-setengah. Sungguh malu.

Di tengah kemalasan dan ketidak konsistenan, kembali saya harus mampu menjawab pertanyaan ini.

Apakah saya  masih akan serius menekuni kegiatan menulis dan blogging?

2 pemikiran pada “Blogging

Tinggalkan komentar